Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi I DPRD Kabupaten Sukabumi

RAGAMBAHASA – Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi I DPRD Kabupaten Sukabumi, Senin 10 Juli 2023 antara Forum Wartawan Sukabumi Bersatu (FWSB), DPMD,

Inspektorat, Bagian Hukum Setda, Apekasi, Apdesi, Parade Nusantara, Marpaung & Partner’s di Ruang Badan Musyawarah (Bamus), berlangsung menarik dan bertensi cukup tinggi.

Masing-masing pihak menyampaikan argumennya terkait legal atau tidaknya pendampingan hukum oleh Law Firm MP & Partner’s terhadap para kepala desa yang notabene bersifat komersial bukan oleh LBH terakreditasi sebagaimana diamanatkan oleh regulasi yang baku.

 

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi, Yudi Suryadikrama, meminta semua pihak agar mau duduk bersama dan segera menyudahi perdebatan yang tidak berujung pangkal ini.

“Kami minta semua pihak untuk mau duduk bareng dan menyudahi perdebatan yang berkepanjangan.

Mari kita bangun kabupaten Sukabumi dengan semangat kebersamaan dan mengeliminasi perbedaan,” ajaknya.

“Saya dengan saudara Hadi merupakan teman dekat, dengan pak Marpaung juga, dengan APDESI, kang Hoer dari Parade Nusantara juga sama-sama teman.

Mari kita sudahi di forum ini dan kita sama-sama mau duduk bareng di ruangan saya,” imbuh Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi dari Fraksi PDI Perjuangan itu usai RDP.

Di tempat berbeda, berdasarkan sudut pandang praktisi hukum, baik sebagai advokat profesional (Saleh Hidayat Law Firm & Partner’s) maupun selaku aktivis penggiat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Damar Keadilan Rakyat (DKR), mengatakan bahwa harus dipisahkan ketentuan hukum tentang hak advokat mendapatkan lawyer fee atau pembayaran jasa advokat atau penasehat hukum secara profesional yang dilindungi dan dijamin oleh Undang-Undang Advokat.

UU No 18 tahun 2003 tentang Advokat memang memberikan perlindungan dan jaminan terhadap advokat terkait hak untuk mendapatkan honorarium atau lawyer fee atau pembayaran jasa hukum yang tidak terbatas dalam menjalankan profesinya sebagai advokat.

Profesionalisme advokasi dalam menjalankan profesinya harus tunduk dan patuh pada kode etik profesi advokat, di mana salah satunya advokat hanya boleh menerima uang pembayaran jasa advokat, setelah menerima kuasa dan menandatangani Surat Kuasa dari pemberi kuasa.

 

Berbeda dengan advokat yang bersedia bekerja menjalankan profesi advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma atau gratis (probono) dan atau dibayar secara prodeo atau dibayar oleh negara. Mekanisme pembayaran jasa Advokat, menurut dia, secara prodeo telah diatur secara jelas dan ketat oleh UU No.16 tahun 2011 tentang bantuan hukum.

‘Kami melihat dan memandang bahwa MoU dan pembayaran jasa Advokat untuk pendampingan hukum bagi desa -desa di Kabupaten Sukabumi adalah termasuk kategori pembayaran Jasa Advokat secar prodeo bukan secara profesional komersial, oleh karena jelas-jelas menggunakan uang negara (Dana Desa dari sumber APBN),” tegasnya.

Lebih lanjut dikatakan praktisi hukum dan aktivis pergerakan ini, posisi kasus MoU (bila ada) oleh dan antara Kepala Desa dengan Kantor Hukum secara profesional komersial, dimana telah terjadi pembayaran jasa hukum dan kegiatan pendampingan/penyuluhan hukum dengan menggunakan uang yang bersumber dari negara (Dana Desa) bukan bersumber dari dana pribadi Kepala Desa atau aparat. Karenanya hal tersebut termasuk kategori penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Desa atau aparat serta merupakan pelanggaran hukum (Kode Etik Profesi Advokat) oleh Advokat yang menerima pembayaran jasa hukum.

Oleh karena itu pihaknya mendesak dan meminta untuk diusut tuntas pelanggaran hukum dimaksud.

Menurut sumber, MP yang menerima dana dari sejumlah kepala desa adalah mantan jaksa penuntut umum. Setelah pensiun, MP jadi pengacara. Karena mantan jaksa mengetahui seluk beluk kesalahan desa, MP mendampingi para kades yang diduga bermasalah dengan didanai dari dana desa.