RAGAMBAHASA.com || Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP TSK SPSI) Kabupaten Sukabumi mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk membatalkan program iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera). Kebijakan ini, yang mengharuskan pemotongan gaji atau penghasilan pekerja sebesar 2,5 persen per bulan, dianggap sangat merugikan para buruh.
“Terlebih lagi, saat ini upah buruh masih jauh dari layak atau berada di bawah standar kebutuhan hidup layak, ditambah dengan biaya hidup yang semakin tinggi akibat kenaikan harga-harga,” ujar Ketua SP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi, Mochamad Popon, kepada sukabumiupdate.com, Kamis (30/5/2024).
Popon menjelaskan bahwa program Tapera akan sangat memberatkan buruh, mengingat saat ini dengan upah yang rendah, pekerja sudah dibebani dengan potongan iuran BPJS, termasuk Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kesehatan.
“Belum lagi banyak buruh yang penghasilannya sudah sangat berkurang karena harus membayar cicilan kredit ke lembaga keuangan, seperti cicilan kendaraan dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR),” katanya.
“Serta membayar cicilan lain sebagai dampak dari rendahnya upah yang diterima, sementara kebutuhan hidup setiap bulannya terus bertambah dan semakin naik harganya,” lanjutnya.
Ia menegaskan bahwa penerapan program yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 ini hanya akan menambah deretan penderitaan bagi kaum buruh. Menurut Popon, jika pemerintah memang berniat baik untuk mendorong kepemilikan rumah bagi rakyat kecil, termasuk buruh berpenghasilan rendah, seharusnya mereka disubsidi oleh pemerintah.
“Bukan malah dipaksa untuk mensubsidi negara dalam membiayai program pemerintah dengan embel-embel Tabungan Perumahan Rakyat,” tegasnya.
Popon menyarankan bahwa jika pemerintah benar-benar memiliki itikad baik untuk mendorong kepemilikan rumah, program ini seharusnya bersifat sukarela, bukan dipaksakan.
“Dengan pendapatan mereka yang sudah kecil tanpa dipotong iuran Tapera saja sudah berat menanggung beban kebutuhan hidup yang semakin hari semakin tinggi,” tambahnya.
Dia menduga bahwa paksaan untuk membayar iuran Tapera ini adalah upaya pemerintah untuk menutupi defisit keuangan negara demi program-program baru yang membutuhkan anggaran besar, seperti makan siang dan minum susu gratis.
“Dan hal yang sangat kontraproduktif dari Program Tapera ini adalah bagi mereka kalangan buruh yang notabenenya upahnya masih rendah dan sudah memaksakan diri mendapatkan rumah dengan cara Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dari lembaga perbankan,” tuturnya.
“Sehingga kalau mereka dipaksa lagi oleh negara untuk membayar Tapera, sebenarnya program ini untuk siapa? Dan pastinya jika dilanjutkan, akan menimbulkan risiko pemiskinan terhadap kaum buruh yang notabenenya upahnya masih rendah,” lanjutnya.
Dengan demikian, Popon dan Pimpinan Cabang Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI) Kabupaten Sukabumi mendesak pemerintah untuk membatalkan pemberlakuan Tapera.
“Yang mewajibkan pekerja atau buruh untuk membayar iuran Tapera sebesar 2,5% dari upah dan pengusaha sebesar 0,5% dari upah, karena sekali lagi jika dipaksakan hanya akan semakin menambah deretan penderitaan bagi kaum buruh,” pungkasnya.