RAGAMBAHASA.com || Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi, Andri Hidayana, turut menandatangani pernyataan sikap menolak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang disampaikan oleh kelompok jurnalis dalam aksi unjuk rasa di gedung DPRD di Kecamatan Palabuhanratu pada hari Selasa, 28 Mei 2024.

“Aspirasi dari jurnalis Kabupaten Sukabumi terkait penolakan revisi UU Penyiaran, terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan pers, telah ditandatangani oleh Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi dan seluruh Komisi I, serta sudah dikirimkan kepada DPR RI di Jakarta,” ujar Andri kepada sukabumiupdate.com, Sabtu (1/6/2024).

Menurut Andri, dukungan DPRD Kabupaten Sukabumi terhadap penolakan revisi UU Penyiaran dapat memperkuat suara di tingkat nasional sehingga pembahasan di DPR RI bisa ditunda. Andri menekankan bahwa kebebasan pers sebagai kontrol sosial dan pilar demokrasi harus terus dipertahankan.

Sebelumnya diberitakan bahwa Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR RI), Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa pembahasan revisi UU Penyiaran di Baleg saat ini ditunda berdasarkan permintaan Fraksi Partai Gerindra. Supratman menjelaskan bahwa revisi UU Penyiaran memang sudah ada di Baleg dan telah satu kali mendengarkan paparan dari pengusul, yakni Komisi I.

Mengutip siaran pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI), berikut adalah beberapa pasal dalam revisi UU Penyiaran yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi:

Pasal 50B ayat (2):
– Larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
– Larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender.
– Larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.

Pasal 8A huruf q:
– Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran.

Pasal 42:
– Muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
– Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun catatan kritisnya adalah sebagai berikut:

Pertama, larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik merupakan wujud keengganan pemerintah dalam melakukan pembenahan pada penyelenggaraan negara. Alih-alih memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif sebagai sarana check and balances bagi berlangsungnya kehidupan bernegara, pemerintah justru memilih untuk menutup kanal informasi tersebut. Hal ini bukan fenomena yang mencengangkan mengingat kultur pemerintahan Indonesia yang anti-kritik, tidak berorientasi pada perbaikan, dan enggan berpikir.

Kedua, larangan terhadap penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender merupakan wujud diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+, yang dapat semakin mempersempit ruang-ruang berekspresi sehingga melanggengkan budaya non-inklusif dalam kerja-kerja jurnalistik.

Ketiga, Pemerintah menggunakan kekuasaannya secara eksesif melalui pasal-pasal pemberangus demokrasi berdalih perlindungan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik yang semakin dilegitimasi melalui RUU Penyiaran. Alih-alih mempersempit ruang kriminalisasi bagi jurnalis maupun masyarakat pada umumnya, eksistensi pasal elastis ini justru semakin diperluas penggunaannya.

Keempat, pemerintah berusaha mereduksi independensi Dewan Pers dan fungsi UU Pers. Pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) dan (2) pada draf revisi UU Penyiaran menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dengan kewenangan Dewan Pers. Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan SIS. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers.