RAGAMBAHASA.com || Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial (GEMA PS) Jabar-Banten menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bersama PWI Kabupaten Sukabumi dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional. Acara tersebut berlangsung di Sekretariat GEMA PS, Jalan Lingkar Selatan, KotaSukabumi, pada Selasa, 23 September 2024.
Diskusi ini mengangkat tema “Reforma Agraria dan Gerakan Ketahanan Pangan untuk Pemberdayaan Perekonomian Masyarakat Petani”. Beberapa narasumber yang hadir di antaranya KH. Buya Royanudin, tokoh ulama Sukabumi yang fokus pada Reforma Agraria, Bah Acep Sholehudin, Ketua GEMA PS Jabar-Banten, dan Mulya Hermawan, Ketua PWI Kabupaten Sukabumi.
Dalam pemaparannya, Bah Acep menjelaskan bahwa Kabupaten Sukabumi merupakan wilayah terluas kedua di Jawa dan memiliki objek Reforma Agraria yang cukup luas. Objek tersebut meliputi tanah negara bebas, tanah HGU yang masa berlakunya telah habis, tanah timbul, dan tanah kelebihan atau tanah abstente.
“Reforma Agraria juga mencakup area kehutanan, di mana ada pemukiman dan persawahan yang dijadikan Program Ketahanan Pangan berdasarkan Program Penyelesaian Penguasaan Tanah (PPTPKH) yang diatur oleh Kementerian KLHK,” kata Bah Acep.
Ia melanjutkan bahwa ada ribuan bidang tanah di Sukabumi yang akan dikeluarkan dari kawasan hutan dan akan diterbitkan sertifikatnya. Proses ini meliputi pendataan, pemetaan, dan administrasi yang didampingi oleh GEMA PS DPC Sukabumi.
Lebih lanjut, Bah Acep menyebutkan bahwa KLHK telah mengeluarkan SK Menteri tentang Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), di mana hutan yang sebelumnya dikelola oleh Perhutani kini dialihkan kepada KLHK melalui SK No 287.
“Lokasi-lokasi tersebut kini diberikan izin kepada masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH), Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD), koperasi, atau kelompok tani lainnya,” ujar Bah Acep.
Di Sukabumi, terdapat 21.000 hektar area KHDPK yang tersebar di 93 desa. Area ini sudah dikeluarkan dari pengelolaan Perhutani dan telah menjadi area KHDPK, sedangkan Perhutani tetap mengelola lahan lain sesuai SK No 264.
“Sejak SK 287 diterbitkan dan gugatan di PTUN Jakarta Timur dimenangkan oleh KLHK, Perhutani tidak lagi memiliki kewenangan, kecuali menyelesaikan aset melalui peraturan Menteri No 4,” jelas Bah Acep.
Ia juga menambahkan bahwa masyarakat Sukabumi kini memiliki izin pengelolaan lahan di kawasan hutan melalui Hak Pakai selama 35 tahun yang diberikan oleh KLHK.
Selain itu, Bah Acep menegaskan pentingnya perencanaan teknis melalui Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS). Program ketahanan pangan, menurutnya, harus melibatkan Dinas Koperasi, Dinas Pertanian, dan Dinas Ketahanan Pangan, serta kelompok tani yang didampingi oleh GEMA PS, agar potensi desa di setiap area KHDPK dapat dimanfaatkan secara optimal.
KH. Buya Royanudin, yang juga seorang praktisi Reforma Agraria, menyambut baik diskusi ini. Menurutnya, sinergi antara praktisi, ulama, dan jurnalis penting untuk mendukung hak-hak petani.
“Publik perlu mengetahui perjuangan praktisi dalam memperjuangkan hak-hak petani, terutama terkait pengakuan hukum atas hak rakyat,” kata Buya.
Ia mengutip kaul ulama, “Man ahyal ardol may’yitata fahiya Lahu,” yang berarti siapa yang menggarap tanah terlantar, maka dialah pemiliknya. Hal ini, lanjutnya, sejalan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Buya menambahkan bahwa jika sinergi antara praktisi, ulama, dan PWI terus diperkuat, maka intimidasi dan penyalahgunaan wewenang oleh oknum dapat diminimalkan, serta petani dapat berdaya dan ekonomi mereka meningkat.
Senada dengan hal tersebut, Mulya Hermawan, Ketua PWI Kabupaten Sukabumi, menjelaskan bahwa reforma agraria bertujuan untuk memperbaiki struktur penguasaan tanah, yang sangat berkaitan dengan keberhasilan program ketahanan pangan.
“Dengan akses lahan yang lebih luas, petani dapat meningkatkan produksi pangan dan menjamin kecukupan pangan bagi keluarga mereka,” kata Mulya.
Ia menegaskan bahwa reforma agraria dan ketahanan pangan saling melengkapi untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan tujuan mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.