RAGAMBAHASA.com || Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk mengevaluasi pengadaan barang dan jasa melalui E-Katalog. Langkah ini diambil menyusul operasi tangkap tangan (OTT) di Kalimantan Selatan.

“Dulu, pengadaan barang di bawah Rp 200 juta bisa melalui penunjukan langsung, sedangkan di atas itu harus melalui tender. Namun, dengan adanya E-Katalog, seolah-olah sistem ini menghapuskan batasan nilai. Sekarang, E-Katalog menjadi seperti penunjukan langsung, tetapi menggunakan media elektronik,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Jakarta, 10 Oktober 2024.

Dalam OTT di Kalimantan Selatan, penyidik KPK menemukan adanya rekayasa dalam persyaratan lelang proyek melalui E-Katalog, yang hanya memungkinkan perusahaan tertentu untuk mengajukan penawaran dan memenangkan proyek.

“Kami melihat ini terjadi di beberapa daerah. E-Katalog berubah menjadi sarana penunjukan langsung secara elektronik,” tambah Ghufron.

Oleh karena itu, KPK akan bekerja sama dengan LKPP untuk mengevaluasi sistem E-Katalog dan menutup celah korupsi yang ada.

“Kami akan berdiskusi dan mengevaluasi ini bersama LKPP,” ujarnya.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan tujuh tersangka terkait dugaan suap pengadaan barang dan jasa untuk tiga proyek di Provinsi Kalimantan Selatan. Para tersangka adalah Gubernur Kalsel Sahbirin Noor (SHB), Kadis PUPR Kalsel Ahmad Solhan (SOL), Kabid Cipta Karya Dinas PUPR Kalsel Yulianti Erlynah (YUL), Bendahara Rumah Tahfidz Darussalam Ahmad (AMD), dan Plt Kabag Rumah Tangga Gubernur Kalsel Agustya Febry Andrean (FEB). Dua tersangka lainnya dari pihak swasta adalah Sugeng Wahyudi (YUD) dan Andi Susanto (AND).

Proyek yang diselidiki meliputi pembangunan lapangan sepak bola di Kawasan Olahraga Terintegrasi senilai Rp 23 miliar, pembangunan Gedung Samsat Terpadu senilai Rp 22 miliar, dan pembangunan kolam renang di kawasan yang sama dengan nilai Rp 9 miliar.

Rekayasa lelang dilakukan dengan cara membocorkan harga perkiraan sendiri dan kualifikasi perusahaan yang disyaratkan, memanipulasi proses pemilihan E-Katalog agar hanya perusahaan tertentu yang bisa menawar, menunjuk konsultan yang terafiliasi dengan pemberi suap, serta melaksanakan pekerjaan sebelum kontrak ditandatangani.

KPK juga membuka kemungkinan menerbitkan daftar pencarian orang (DPO) untuk Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor jika ia tidak memenuhi panggilan sebagai tersangka. “Kami akan lakukan prosedur pemanggilan. Jika tidak hadir, kami panggil kembali. Jika tetap tidak hadir, kami akan masukkan ke DPO,” kata Ghufron.

Para tersangka yang merupakan penyelenggara negara dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara itu, dua pihak swasta dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.