Jakarta — Pakar komunikasi politik dari LSPR Institute, Prof. Dr. Lely Arrianie, M.Si., menyatakan bahwa Indonesia hingga saat ini belum memiliki model komunikasi politik yang terdefinisi dengan jelas. Hal tersebut ia sampaikan dalam orasi ilmiahnya saat dikukuhkan sebagai guru besar di Jakarta.
“Indonesia belum memiliki model komunikasi politik yang jelas. Kalau pun ada, bisa disebut sebagai model tanpa model, karena belum menunjukkan sistem yang tetap dan konsisten,” ujar Prof. Lely.
Ia menjelaskan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya, sejak era reformasi terjadi perubahan drastis dalam pola komunikasi politik di Indonesia. Komunikasi yang dulunya santun dan terstruktur pada masa Orde Baru, kini bergeser menjadi gaya komunikasi yang cenderung mengabaikan etika dan budaya politik.
Menurutnya, kondisi ini menyebabkan seluruh pilar demokrasi—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—lebih dipengaruhi oleh gaya komunikasi individu para politisi, bukan oleh model komunikasi politik yang sistematis. Gaya yang dimaksud mencerminkan karakter pribadi dan kebiasaan berulang para politisi, bukan representasi dari suatu sistem komunikasi yang bisa dipelajari atau dijadikan acuan.
Prof. Lely menilai komunikasi politik saat ini tidak lagi berjalan secara linear, melainkan berkembang menjadi konvergen, sirkular, dan transaksional, yang ditandai dengan praktik negosiasi intens. Hal ini turut memunculkan berbagai persoalan, termasuk kecenderungan pada pengelolaan kesan (impression management) yang kerap memicu kekerasan fisik maupun psikologis, dan dipersepsikan publik sebagai bentuk premanisme politik.
Ia juga menyoroti bahwa para komunikator politik lebih banyak mengejar kepentingan pribadi daripada menjalankan komunikasi politik yang mengedepankan prinsip etika, keadilan, moral, dan tanggung jawab.
Kendati demikian, Prof. Lely tetap optimistis bahwa Indonesia sedang menuju proses pembentukan model komunikasi politik yang lebih baik dan berbudaya.
“Komunikasi politik tidak hanya soal penyampaian pesan, tetapi juga bagian dari kepemimpinan. Seorang pemimpin semestinya mampu menjadi komunikator yang menggugah dan membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik,” tegasnya.
Ia menambahkan, meskipun saat ini belum terlihat adanya model yang konkret, namun perkembangan yang ada bisa menjadi awal pembentukan model komunikasi politik nasional yang bisa dijadikan acuan dalam praktik demokrasi yang etis dan bertanggung jawab.